Setelah waktu yang cukup lama tidak ada aktivitas maka pada hari Senin tanggal 23 Februari 2004 diadakan pertemuan komunitas Linuxer di Bali. Menurut daftar hadir pertemuan tersebut dihadiri sekitar 40 orang dari berbagai kalangan baik dari mahasiswa, praktisi dan pengusaha di bidang IT serta tentunya sebagian dari pengurus KPLI yang pada bulan Maret 2004 akan berumur satu tahun.
Dari beberapa topik yang dibahas maka bisa dilihat berbagai sudut pandang yang ada saat ini. Dari kalangan pengusaha mungkin mengharapakan bahwa dari komunitas bisa lahir tenaga-tenaga ahli siap pakai di bidangnya yang pada masa yang akan datang akan semakin dibutuhkan seiring dengan pemberlakuan UU HAKI yang meskipun saat sudah berlaku namun pemerintah belum mengambil langkah-langkah tegas bagi yang melanggar. Sebetulnya harapan tersebut mestinya bisa disambut dengan baik oleh komunitas yang notabene terdiri dari para penggemar Linux yang suka utak-atik atau istilah topnya ‘ngoprek’. Memang komunitas idealnya terdiri dari berbagai kalangan dan terutama dari golongan pelajar dan mahasiswa yang masih memiliki idealisme tinggi dan belum ‘terkontaminasi’ kepentingan tertentu, sebab golongan tersebut umumnya memiliki semangant tinggi dan peran sertanya sangat diharapkan. Sebetulnya di sisi lain juga tidak perlu terlalu ‘alergi’ pada kata ‘bisnis’ sebab bila berpikir lebih luas adalah sangat menyenangkan apabila kita mengerjakan sesuatu yg kita sukai, membagi ilmu kepada orang lain dan kalau di kemudian hari itu juga bisa menjadi sumber penghasilan mengapa tidak. Itu hanya sebuah pemikiran saja tentunya karena di luar itu yang paling penting dari sebuah komunitas adalah semangat berbagi, melayani sesama dan membantu orang lain.
Tujuan KPLI sebagai organisasi nirlaba atau non-profit tidak lain adalah untuk memeperkenalkan Linux kepada masyarakat luas dan menumbuhkan semangat ‘open source’. Tentunya untuk mencapai itu jauh lebih mudah mengatakannya daripada pelaksanaannya di lapangan. Harus dipahami bahwa sebuah program untuk bisa berjalan dengan baik perlu peran serta semua pihak karena dalam banyak kasus anggota melempar ide lantas mangharapkan pengurus mewujudkannya. Pengurus sesungguhnya hanya menjalankan fungsi koordinasi dari sebuah organisasi dan bukan serta merta menjalankan semua fungsi. Sebuah perusahaan pun tidak akan bisa berjalan hanya dengan direksi tanpa karyawan dan demikian juga sebuah negara tidak artinya bila tidak ada rakyat yang mendukung. Apalagi dalam hal ini kita berbicara sebuah organisasi yang tercipta dari komunitas dan tujuannya bukan mencari keuntungan sehingga siapa saja yang terlibat sifatnya suka rela. Marilah kita berpikir bahwa apa yang bisa saya kontribusikan kepada komunitas dan bukan apa yang bisa dikontribusikan komunitas kepada saya.
Di awal berdirinya KPLI maka sudah ada usulan untuk mengadakan pelatihan ke sekolah-sekolah dan kampus, mungkin untuk awal dengan installfest dan semacamnya pokoknya supaya masyarakat dalam hal ini pelajar dan mahasiswa bisa berkenalana dengan Linux. Namun mengapa hal tersebut tidak pernah bisa terlaksana? Mari kita telaah bersama apa yang menjadi permasalahan dari program yang kedengarannya sangat ‘gampang’ ini. Salah satu kendala adalah bahwa masih banyak sekolah dan mungkin juga kampus yang belum memiliki lab komputer dan kalau pun ada kadang kala peruntukannya bukan untuk kegiatan belajar mengajar melainkan justru untuk kegiatan administratif lembaga yang bersangkutan. Sedangkan untuk mengadakan installfest tentunya dibutuhkan setidaknya beberapa unit komputer yang akan di-install Linux. Sebetulnya bisa juga hal tersebut dilaksanakan berupa seminar dimana demonstrasi instalasi dilakukan pada satu komputer dan diproyeksikan dengan proyektor untuk bisa dilihat banyak orang, namun cara tersebut walau lebih efisien kurang efektif karena hanya ‘ditonton’ dan tidak langsung dipraktekkan. Umumnya sesuatu yang dipraktekkan akan lebih ‘nempel’ ketimbang sesuatu yang hanya dilihat dan didengar.
Dari dua cara tersebut maka hal yang selalu dibutuhkan itu adalah komputer sehingga perlu ada pihak yang bersedia ‘meminjamkan’ beberapa unit untuk kegiatan tersebut. Dalam hal ada pihak yang bersedia meminjamkan komputer maka selanjutnya dibutuhkan beberapa instruktur yang bersedia memasang komputer tersebut dan membimbing dalam proses instalasi. Jadi seperti yang bisa dilihat untuk program seperti ini minimal dibutukan unit komputer, tenaga instruktur dan pada akhirnya juga pasti ada biaya yang harus dikeluarkan walau itu hanya ongkos bensin untuk mengangkut komputer dari-ke dan sebaliknya. Nah sekarang apakah kita yang tergabung dalam komunitas sudah siap dan dengan suka rela mau bekontribusi ? Tentunya jawabannya ada pada pribadi masing-masing.
Jadi sekarang pertanyaannya KPLI itu mau dibawa ke mana ? Apa yang sesungguhnya diharapkan dari KPLI ?
Sebagai penutup saya ingin menceritakan sebuah pengalaman pribadi yang saya alami belum lama ini dan menurut saya cukup unik. Ceritanya kira-kira sebulan yang lalu saat sedang ngobrol dengan ayah saya yang saat ini berusia 66 tahun, tiba-tiba beliau mengungkapkan keinginannya agar komputer di rumah ‘dipasang’ Linux karena menurut beliau Linux itu lebih stabil dan terutama bebas dari virus sebaliknya saya ditantang ‘gimana bisa nggak?’. Tentunya reaksi saya pertama terkejut juga kenapa tiba-tiba ada keinginan seperti itu dan di sisi lain senang juga mendegar permintaan tersebut sebab selama ini komputer di rumah sudah cukup lama memiliki dua system operasi alias dualboot yakin W2K dan Mandrake 9.1, hanya saja selama ini orang tua saya menggunakan W2K sedangkan saya bereksperimen di Linux. Sehingga yang tinggal saya buat adalah menciptakan dua user baru masing-masing untuk ibu dan ayah saya, setup email menggunakan Kmail serta beberapa konfigurasi lainnya termasuk membuat shortcut pada desktop supaya memudahkan mereka dah hasilnya sekarang ini untuk semua kebutuhan mereka menggunakan Linux. Usut punya usut ternyata ayah saya habis membaca sebuah artikel tentang Linux pada majalah Intisari yang ternyata bisa membuka pikiran untuk beralih ke Linux. Sebagai catatan tambahan bahwa orang tua saya belajar untuk menggunakan email saat sudah berusia 60 tahun, artinya baru beberapa tahun yang lalu sehingga mereka bisa berhubungan dengan relasi dan famili yang ada di luar negeri.
Mungkin inti dari cerita tersebut adalah bahwa usia bukan hambatan untuk belajar bagi yang memiliki keinginan dan bahwa orang tidak perlu takut terhadap perubahan atau sesuatu yang baru dalam hal ini Linux karena Linux yang sekarang sudah jauh lebih ‘user friendly’ daripada yang mungkin dikira banyak orang, sehingga apabila orang yang berusia 60 tahun saja mau mencoba apalagi kita yang masih jauh lebih muda. Go Linux!
0 komentar:
Posting Komentar